Mengenal Masjid Muhajirin, Basis Pergerakan Islam Bekasi Melawan Penjajah Belanda dan Jepang



Bekasi – Masjid yang letaknya berada di tepi Jalan Ir. Juanda, tepatnya di Pasar Proyek, Kota Bekasi, Jawa Barat, Dahulu adalah Pusat Pergerakan Aktivis Islam Bekasi untuk melawan Penjajah Belanda dan Jepang. Masjid tersebut dijadikan basis pertahanannya oleh para pemuda – pemuda Islam di Bekasi, termasuk juga para pemuda – pemuda Bekasi yang ikut dalam pergerakan K.H.Noer Ali.

Masjid di tepi jalan Djunda itu terlihat lengang, hanya beberapa orang sedang duduk di teras depan, melepas lelah dan berteduh dari sengatan sinar matahari yang terik membakar kulit. Hawa dingin lantai marmer dan angin sepoi-sepoi yang merobos dari jendela sedikit menyejukkan badan yang tengah berpuasa.

Sepintas tidak ada yang istimewa dari masjid itu, luasnya tidak seberapa besar seukuran surau. Hanya catnya yang masih terlihat baru. Halamannya cuma cukup untuk parkir beberapa jajar sepeda motor.

Dulu, namanya Masjid Muhajirin, sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka, sekitar era tahun 1900-an. Penanda fisiknya ada di nisan dua makam yang teletak di belakang masjid yaitu;  1 Januari 1944 dan 1 Juli 1944.  Masjid ini pernah menjadi pusat pergerakan para pemuda Islam di Bekasi pada masa perlawanan terhadap pejajahan Belanda dan Jepang. 

Di masjid ini, para pemuda berdiskusi, menimba ilmu dari para ulama dan membahas strategi perlawanan. Letaknya yang dekat pusat perekonomian, sekarang pasar proyek, sangat strategis untuk menjadi tempat berkumpul para pemuda dari seluruh penjuru Bekasi.  Para pemuda yang datang menyamar sebagai pedagang agar tidak dicurigai oleh tentara.

Aktivitas pergerakan di masjid ini tidak luput dari pantauan militer Belanda yang pada waktu itu bermarkas di Gedung Papak, tidak jauh dari lokasi masjid.

Dikutip dari berbagai sumber, “Para pemuda pejuang berkumpul setiap hari “pasaran”,  mereka sengaja datang untuk berbelanja di pasar dan singgah ke Masjid untuk berdiskusi terkait situasi di daerah masing-masing, kemudian merumuskan strateginya,” ujar El Fath, pemerhati sejarah Bekasi.

Menurutnya, pada masa penjajahan masjid memang menjadi pusat pergerakan para pejuang. Karena kultur masyarakat Bekasi yang agamis dan kuat beragama. Bahkan para pemimpinnya kebanyakan adalah ulama yang memiliki basis massa pesantren, sebut  saja misalnya KH Noer Alie dengan pondok pesantren AT-Taqwa, KH Muhajirin pondok pesantren An-Nida, KH Mochtar Tabrani pondok pesantren An-Nur,  KH. Yusuf Kamil pimpinan Ponpes Al Baqiyatuss Slolihat Cibarusah, dan KH. Nawawi El Marzuki, pimpinan Ponpes Al-Hidayah, Pulau Murub Tambelang.

“Tokoh-tokoh yang sering disebut dan ditutur dari mulut ke mulut itu merupakan tokoh penggerak perjuangan dan menjadi referensi para pemuda, masyarakat saat itu” kata  dia.

Menurut El Faht, pada masa itu para ulama membagi peran, ada yang model perjuangannya dengan perlawanan fisik seperti yang dilakukan oleh KH Noer Alie, tapi ada juga yang dilakukan dengan cara berdakwah seperti jalan yang ditempuh KH Muhajirin. Semua tokoh tersebut memiliki kontribusi yang sama dalam perjuangan rakyat Bekasi.

“Masjid, pesantren dan pemimpinnya adalah bagian sejarah yang tidak bisa dipisahkan dari Bekasi. Seharusnya pemerintah daerah melakukan rekontruksi sejarah untuk pelajaran generasi Bekasi,” ujarnya.

Masjid Mujahirin pernah mengalami renovasi tahun 1994 dan kemudian berubah nama menjadi Masjid Al Arief, yang diresmikan langsung oleh Wakil Bupati DT II tanggal 15 Desember 1994. Masjid bersejarah itu kini nyaris tidak bisa bercerita tentang masa lalunya. Tidak ada yang tahu sejarahnya. Hanya beredar dari mulut ke mulut di kalangan generasi tua. Sedangkan untuk generasi muda, nyaris kehilangan makna, tidak lebih hanya untuk tempat sholat dan beribadah.


Sumber: bekasiurbancity

Komentar

  1. Hallo, terima kasih sudah menulis tentang masjid Al-Arief ini. Setahu saya dulu nama masjid ini sebelum berubah menjadi Al-Arief adalah masjid El Muwahidin. Bisa jadi sebelum ElMuwahhidin ada nama yang lain, tapi saya tidak tahu. Karena nama masjid El Muwahidin digunakan untuk masjid baru yang di jln Kartini, maka masjid ini diberi nama Al-Arief. Nama Al Arief adalah nama buyut saya. Dulu kakek, nenek dan adik2 nenek saya tinggal di daerah ini. Makam kakek saya bersaudara ada pada areal pemakaman di sebelah masjid ini. Kyai Muhajirin alm yang mendifrikan Pesantren AnNida juga masih keluarga saya, dan di komplek Pesantrennya di Jl. Juanda, ada masjid kecil dengan kapsitas sekitar 50 orang.

    BalasHapus

Posting Komentar